Raja-Raja Besar Nusantara (3)

Kerta neagara (2)



PENDEKATAN ANTROPOLOGI ATAS MODEL PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA

Telah diutarakan bahwa penobatan Kertanagara berlangsung pada tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Penobatan itu harus ditafsirkan bahwa Kertanagara pada waktu itu baru dinobatkan sebagai raja muda atau yuwaraja. Hal ini terbukti dari istilah makamngalnya (di bawah pengawasan) yang sering ditemukan dalam prasasti Kertanagara sebelum tahun 1929.[19] Baru setelah raja Wisnuwardana wafat pada tahun saka 1190 atau tahun masehi 1268, maka Kertanagara mempunyai tanggung jawab penuh se bagai raja. Sejak pembentukan kerajaan Singasari oleh Ken Arok alias raja Rajasa,[20] yang pada waktu itu belum bernama Singasari tetapi Kutaraja,[21] Kertanagara adalah raja pertama dan terakhir, alias satu-satunya raja Singasari yang penobatannya tanpa pertumpahan darah.[22] Siapa namanya waktu masih kecil tidak diketahui. Baik Pararaton maupun Negarakretagama serta Prasasti Sarwadharma dan Kidung Panji Wijayakrama tidak menyebutnya. Negarakretagama dan prasasti Sarwadharma dengan tegas menyebut bahwa nama Kertanagara adalah nama abhiseka. Dalam Kidung Panji Harsawijaya, raja Kertanagara biasa disebut Siwa-Buddha.[23] Sebabnya tidak lain karena prabu Kertanagara memang mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam tentang ajaran agama Siwa dan Buddha dan memiliki pengetahuan tentang ajaran agama.

Dari Negarakretagamai kita ketahui bahwa perubahan nama Kutaraja menjadi Singasari terjadi dalam pemerintahan raja Wisnuwardhana di sekitar tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Sumber sejarah lainnya tidak menyebut nama dusun Kutaraja yang kemudian berganti nama Singasari. Pararaton menceritakan hal lain, yakni bahwa Wisnuwardana mendirikan perbentengan (kota?) di Canggu Lor dalam tahun Masehi 1271. Canggu Lor terletak ditepi Sungai Brantas, dan mungkin sekali pembuatan perbentengan di Canggu Lor itu ada hubungannya dengan penyerangan atas Mahibit oleh raja Wisnuwardana, karena dapat diperkirakan Mahibut pun terletak di tepi Sungai Brantas, dekat Terung, tidak jauh dari letak keraton Majapahit dikemudian hari.[24] Negarakretagama agak panjang menguraikan pemerintahan raja Kertanagara. Sudah pasti bahwa uraian itu hanya menyinggung segi-segi yang baik saja, karena uraian itu ditulis dalam rangka pujasastra.[25] Demikianlah dari Negarakretagama itu saja, kita tidak akan memperoleh gambaran yang sekedar mendekati kenyataan peristiwa sejarah. Kecuali itu, uraiannya boleh dikatakan singkat singkat. Sumber sejarah lainnya akan sekedar menambah pengetahuan kita tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan harapan, didapatkan informasi solid dan valid tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan demikian pendekatan antropologi dapat dilakukan secara utuh tidak fragmentis sehingga didapatkan hasil kajian dari prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Hal ini menjadi penting sebab kajian antropologi berusaha meneropong raja Kertanagara sebagai bagian dari profanitas dan bukan sakralitas sebagaimana banyak diatributkan dalam pemberitaan beberapa Serat, Prasasti dan beberapa Kidung.

Penalaran akan profanitas raja Kertanagara dapat melahirkan paradigma baru bahwa Kertanagara bukanlah manusia adi-luhung sebagaimana disebutkan dalam inskripsi kuno. Melainkan ia hanyalah manusia biasa yang dapat saja tergelincir dalam subjektifitas dan egoisme atau dapat dikatakan juga memiliki kekurangan didalam kelebihan pemerintahannya. Hal ini akan terlihat dalam kajian antropolitik pemerintaha raja Kertanagara yang banyak mengandung paradoks. Begitu dengan pendekatan religi dan sosiokultural pemerintahan Kertanagara.

Dibawah ini uraian pendekatan antropologi yang telah dilakukan atas pemerintahan Kertanagara dari sudut pandang antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Pendekatan antro-religi dilakukan terlebih dahulu karena pandangan religius Kalacakra[26] yang dianut Kertanagara sangatlah mempengaruhi model pemerintahan consentris yang ia laksanakan.


Pendekatan Antroreligi Atas Paham Kalacakra Raja Kertanagara


Sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Raja Kertanagara menganut paham Kalacakra dan paham ini dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebut sebagai Tantra Subuthi oleh Prapanca. Alasan dipegangnya paham ini oleh raja Kertanagara disebutkan dalam Negarakretagama lanjutan pupuh 43/3, “....demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba...”
Mengenai diri dan ibadahnya Negarakretagama pupuh 43/1-6 memberikan uraian sebagai berikut:

Itulah sebabnya, baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni, teguh tawakal menjalankan pancasila, samskra, dan abhisekakrama. Tersohor nama abhiseka beliau setelah ditahbiskan sebagai Jina: Sri Jnanabajresvara. Putus dalam filsafat, tata bahasa dan ilmu lain-lainnya. Berlomba-lomba beliau menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati. Untuk keselamatan negara beliau melakukan puja, yoga, samadi. Suka memberikan derma kepada rakyat dan mendirikan biara untuk para pendeta. Diantara raja-raja sebelumnya tak ada seorangpun yang setara beliau; paham akan sadguna (enam macam politik), putus dalam ilmu, dan memang ahli dalam ajaran agama. Teguh dalam menjalankan aturan agama Jina, dan tawakal dalam laku utama. Itulah sebabnya mengapa mengapa keturunan beliau semuanya ikacatra (pelindung tunggal) dan dewaraya. Pada tahun Saka 1214, beliau pulang ke Jinalaya. Oleh karena beliau putus dalam ilmu tentang upacara (kriyantara) dan ajaran agama (sarwopadesadika), segenap rakyat memberikan gelar kepada beliau: Yang Mulia di alam Siwa Buddha. Diatas makam beliau didirikan arca Siwa-Buddha, terlampau indah. Di Sagala, ditegakkan pula arca Jina, terlampau indah permai. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai Lambang. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai lambang merupakan arca tunggal, sangat masyhur.[27]

Dari keterangan diatas ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam kajian antroreligi paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara ternyata merupakan sinkreteisme Hindhu-Buddha dan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Unsur Buddha Aliran Mahayana

Unsur-unsur kemahayanaan paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara antara lain :

1. Tantra Subuthi

Dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebutkan, “...berlomba-lomba beliua menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati...” Mengenai Tantra ini Prof. Kern berpendapat, Subuthi adalah salah seorang pengikut Buddha. Nama itu terdapat dalam karya Mahayana yang bernama Prajna Paramita.[28] Tantra yang diikuti oleh Prabu Kertanagara dikatakan berasal dari Subuthi. Namun, menurut Slamet Muljana (2005, Menuju Puncak Kemegahan, hal. 145) dalam daftar karya mantra dari aliran Mahayana nama itu tidak kedapatan. Gelar bajra[29] yang terdapat dalam prasasti Tumpang dan diberikan kepada raja Kertanagara, memperkuat asumsi bahwa beliau ahli dalam mantarayana atau tantrayana. Dalam prasasti itu beliau bernama “Jnanesvara Bajra.” Nama tersebut didapat pula dalam Negarakretagama pupuh 43/2 dengan susunan yang agak berbeda sedikit, yakni Sri Jnanabajresvara. Nama itu nama abhiseka sebagai Jina. Atau dapat dikatakan, bila Tantra Subuthi ini dilihat dari sudur pandang antroreligi jelas bahwa raja Kertanagara lebih menerima ajaran ini karena didalamnya tersimpan unsur-unsur esoteris yang berupa paham kesamaan manusia sebagai arketipe ketuhanan dalam mikrokosmos yang bilamana seseorang telah masuk kedalamnya maka seluruh larangan dalam pancasila budhis terabaikan, sebab ia telah menjadi Jina/ Wairocana-Locana. Bhoddisatwa tertinggi yang mewujud dan lepas dari ikatan kemelakatan panca skandha manusia, dengan demikian ia hanya menggunakan kama-nya sebagai jalan hatha yoga menuju kebudhaan.[30] Pada permulaan abad ke-8 para pendeta Mahayana membawa kitab Mahavairocanasutra ke Tiongkok dan Tibet. Sudah pasti bahwa kitab-kitab tersebut juga sampai di Indonesia sekitar tahun 1200 atau abad ke-13.[31] Terbukti dalam makamnya, Kertanagara diwujudkan manunggal dalam arca Wairocana-Locana.

2. Samadimantra dan Abhisekakrama

Telah diketahui bahwa mantra adalah ucapan yang mengandung kekuatan gaib. Tiap bunyi, suku atau kata, berarti pendalaman tentang kekuatan gaib sebagai unsur kekuatan Brahman (purushavatara-Hindu) atau sebagai pembangkitan energi pencerahan dari alam dharmakaya sebagai bentuk sugestif-witarka dari Sang Wairocana[32]. Tiap bunyi, suku kata yang diucapkan dalam mantra adalah unsur dari kata mutlak-parâ vâc. Mengucapkan bunyi, suku atau kata yang bersangkutan berarti membangkitkan kekuatan gaib yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, dibawah ini terdapat tabel namahsiwayamantra dengan tabel makna sugestif.


Na Ma Si Va Ya
Rishi Gautama Atri Vishwamitra Angirasa Baradwaja
Chanda Gyatri Anustup Tristup Brihati Virat
Devata Indra Rudra Hari Brahma Skanda
Arah Timur Utara Barat Selatan Tengah
Swara Udatta Udatta Swaritta Swaritta Udatta


Tabel Makna Sugestif Namahsiwayamantra
Sumber : www.dharmacentral.com/articles/namahsiwayamantra.htm

Dari tabel diatas jelas terlihat bagaimana mantra membangkitkan tenaga supranatural yang setiap bunyi suku katanya dianalogikakan dengan nama-nama dewata. Dengan kata lain, mantra adalah the key of power for determination of darkness illusion-mahamaya-mara to throuh the trikaya till attempt in the enlightment of buddhahod.[33]

Kepercayaan kepada mantra tumbuh dengan suburnya dalam aliran Mahayana. Mereka yang telah terlatih dalam samadhi[34] mempunyai kemampuan supranatural. Bagi mereka tiap bunyi, tiap bunyi yang diucapkan membangkitkan kekuatan gaib sepeti yang dimaksud. Demikianlah kombinasi pemakaian mantra, mudra dan samadhi pada hakikatnya pembangkitan kekuatan gaib dari tiga jurusan, yakni dari ucapan, gerak, dan pikiran. Pembangkitan yang demikian, bagaimanapun sangat intensif. Demikianlah sadhaka, yakni orang yang berlatih atau terlatih, mampu menguasai segala kekuatan menurut kehendak hatinya. Karena pemusatan diri kepada suatu mantra yang mempunyai pertalian erat dengan dewa tertentu, sadhaka memerintahkan dewa yang bersangkutan menitis kedalam dirinya. Akibatnya, ia memiliki kekuatan gaib seperti dewa yang dipanggilnya.[35] Penggunaan mantra dan ber-samadhi hanya dapat berhasil atas petunjuk seorang guru yang mahir dalam hal bersangkutan. Hanya guru yang demikianlah yang mempunyai wewenang untuk menahbiskan seorang murid atau seorang dik’a. Dengan penahbisan itu, murid yang bersankutan wewenang untuk turut memiliki atau menguasai kekuatan gaib. Penahbisan itu disebut abhiseka.

Dari penjelasan ini bila dilihat dari sudut pandang antroreligi akan menjadi kesimpulan bahwa penahbisan Kertanagara sebagai Jnanabajreswara (Negarakretagama) atau Jnanesvara Bajra (Prasasti Tumpang-Prasasti Singasari) menjadi sebentuk penteofanian[36] diri Kertanagara sebagai nirmanakaya.

Unsur Hindhu Aliran Siwa

Setelah membahas unsur kebuddhaan paham Kalacakra yang dianut oleh Kertanagara. Maka kini unsur-unsur Hindhu Siwa, yakni:

1. Kamayoga


Yoga diperlukan dalam menjalankan samadhi dan mantra. Yoga berasal dari kata yug yang berarti menghubungkan atman kepada Brahman (realitas tertinggi) atau dengan kata lain meleburkan diri (purusha) kedalam widyut-energi murni (mahapurusha). Dalam kajian antroreligi tindakan seperti ini disebut sebagai memanifestasikan keagungan (majestas) yang sakral kepada yang profan (being).

Dalam paham Kalacakra dari kacamata Hindhu berarti penghubungan diri dengan realitas tertinggi (Ishvara) dengan menggunakan kama-nafsu ragawi sabagai kamasana-kendaraan jasmani menghalau maya-ilusi, hingga mencapau mahamaya-realitas ilusi, menuju moksa atau kelenyapan.[37] Moksa dalam Hindu umumnya terjadi setelah kematian, namun dalam Tantrisme Kalacakra moksa dapat dicapai bahkan sebelum kematian mengahadang. Namun untuk meraihnya diperlukan tekhnik yoga tertentu. Dalam hal ini terutama hathayoga, yakni yoga yang sangat keras, memegang peranan penting. Yogin, atau praktisi yoga laki-laki (Yogini untuk perempuan) yang sedang menjalankan yoga tersebut, harus berusaha membangkitkan ular sebagai titisan dewi Parwati sakti Siwa.[38] Ular itu akan menutup saluran tertentu dalam badan yang akan memberikan akibat kemenangan atas samsara-kesengsaraan.[39] Latihan itu disebut tantrayana, latihan membangkitkan Dewi.[40] Persetubuhan dengan dewi ular titisan sakti Siwa adalah bentuk kebahagiaan yang tertinggi yang dapat dicapai.[41] Dasar filsafat kepercayaan ini ialah bahwa realitas yang tertinggi ialah persatuan antara dua sifat yang berjenis maskulin dan feminin. Jenis maskulin adalah aspek yang tertinggi, sedangkan jenis feminin adalah aspek pembebasan. Yang pertama disebut upaya, yakni syarat. Maksudnya ialah syarat mencapai kebenaran. Yang kedua bersifat pasif, merupakan aspek pembebasan, disebut prajna. Kesatuan antara maskulinitas dan feminitas melaksanakan kesatuan transendental, mengakibatkan pembebasan dari samsara. Berdasarkan pandangan itu, maka semua dewa, Buddha dan boddhisattva mempunyai sakti yang berupa dewi atau perempuan. Kesatuan antara jenis maskulin dan jenis feminin adalah manifestasi dari prinsip tertinggi. Demikianlah dapat dipahami mengapa dalam tantrayana, persetubuhan mendapat kedudukan yang sangat tinggi, dan wanita sebagai pendukung feminitas mendapat kehormatan luar biasa. Seorang wanita yang menjadi yogini dengan sendrinya mendapat kehormatan dan kedudukan yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada wanita biasa. Oleh karena itu, persetubuhan dengan seorang yogini dipandang sebagai salah satu jalan yang mulia untuk mencapai pembebasan. Jika dilakukan dengan awidya, mengakibatkan klesa-dosa atau leta yang merupakan perintang kejalan moksa. Terbukti dalam pendarmaannya, di Sagala Kertanagara ditegakkan arca Ardhanesvara[42] yang merupakan arca Siwa manunggal dengan saktinya, yakni dewi Parwati.

Sumber: http://amanahrakyatindonesia.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...