Al Qur'an

Al-Quran  yang  secara  harfiah  berarti  "bacaan  sempurna"

merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat,

karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis

baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi

Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

 

Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta

orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat

menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf

oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.

 

Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang

diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat

demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya,

sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

 

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya

susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga

kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada

kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan

jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang

dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,

berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan

kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.

Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya

yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

 

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara

membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal

atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang,

atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur

lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.

 

Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah

77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh

sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua

puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah

kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun

kata dengan lawan kata dan dampaknya.

 

Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat

terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali;

akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat

terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah

(ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg

(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.

 

Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya

yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama

dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali;

zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah,

masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan

lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365,

sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan)

terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.

Demikian

 

"Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran

dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."


 

Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran

menantang:

 

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk

menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan

berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja

sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).


 

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada

seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah

memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan

berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya,

seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu

dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan

keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan

kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan

yang ditimbulkannya.

 

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan

Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia

dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang

belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).


 

Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan

kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai

membaca dan menulis)? Mengapa demikian?

 

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun,"

sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis

dengan aksara tertentu."

 

Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti

menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri

sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

 

Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?"

tanya Nabi -dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan

dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

 

Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar

beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut

Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

 

Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah

ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman,

sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.

Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang

dapat dijangkaunya.

 

Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang

dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

 

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan

sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh

kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya

dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi

juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan

Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan

pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu

juga.

 

Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran

baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta

kesejahteraan batin. Berulang-ulang "membaca" alam raya,

membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta

menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca

dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang

dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian,

namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan

kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang

dikandung dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan

Tuhanmulah yang paling Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah

kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.

 

Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling

berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat

manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah syarat

pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta

syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang

berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab

(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer

pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya

Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya

Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel

(1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran

Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita

yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk

oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya

 

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang

diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami

(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang

memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).


 

Pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran

adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu

dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan dua

cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.

 

Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum

subjek dituntut berperan guna memahami objek. Namun

pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang

memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang

subjek. Komet Halley, memasuki cakrawala, hanya sejenak

setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun para astronom

menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan

mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah

kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.

 

Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia

yang siap dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai

"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya

tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat

dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran

tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.

 

"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui

manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)

apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)


 

Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan

usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan

zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia

seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti

setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi,

sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

 

Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan

memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan

keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.

 

Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan

beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya

dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:

 

"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"

(QS Thaha [20]: 17).


 

Musa sadar sambil menjawab,

 

"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul

(daun) dengannya untuk kambingku, disamping

keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).


 

Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam

material, Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai

tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran

Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil

apa pun- adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan

pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

 

"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia

mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam

kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau

kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam

jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).


 

"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi

Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga)

kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).


 

Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk

tenunan kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan

jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran berbicara

tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek

tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek

atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling

berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya akan

menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama

dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan

bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi

atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai

dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui

di mana ujung pangkalnya.

 

Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian,

adalah untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-

bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu

yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
 
Keharaman  makanan  tertentu  seperti babi, ancaman terhadap

yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,

kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban

puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara

berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa

demikian? Mengapa terkesan acak? Jawabannya antara lain

adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan

ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan

untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu.

Bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan

hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan menunaikannya

tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan

ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada

kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks

antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan

ajaran-ajarannya.

 

Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia

kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan

mengemukakan kisah faktual atau simbolik. Kitab Suci

Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"

namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan

tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi

negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan

itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi

godaan nafsu dan setan.

 

Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan

merasa bahwa kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan

jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar

nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi

firman Allah:

 

 

"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi"

(QS Al-Qashash [28]: 81).


 

Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan

kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan

rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-

hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak

melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun

dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-

orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).


 

Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran,

bahkan mengemukakan situasi, langkah konkret dan

kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk

cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di

rumahnya,

 

Maksudnya,

 

"(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai

cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat

rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya

kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari

lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).




Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah

sementara seniman, yang memancing nafsu dan merangsang

berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan

dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi

tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang sering

dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.

 

Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf,

anak muda yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan

penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,

 

Yang pertama dan kedua adalah,

 

"Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu

adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"

(QS Yusuf [12]: 23).


 

Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.

 

"Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang

yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).


 

Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata

dengan sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan

tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.

 

Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya,

pada saat itu pula ia mewajibkan orang-tua mendidik

anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati Rasul

dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para

pemimpin diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang

dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.

 

Demikian Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua,

masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat

tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil

kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau

hanya ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa

melibatkan seluruh unsur kependidikan.

 

Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari

lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama

itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun

mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada

akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang di

dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan

dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.

 

Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan

berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil

penelitian seorang guru besar Harvard University, yang

dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor

kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.

 

Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah

materi bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada

generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang

kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,

para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan

tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan

dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada hakikatnya

diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan

itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua

puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.

 

Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap

anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian. Siapa pun boleh

optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian tentang

bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan

anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat

mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis, karena

kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi

terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama

sekitar delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang

mereka baca dan hayati mendorong pengembangan ilmu dan

teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.

 

Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani

pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.

 

Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan

saja mencanangkan "wajib belajar" tetapi juga "wajib

mengajar." Bukankah tawashauw berarti saling berpesan,

saling mengajar, sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil

pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,

mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran

menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan

sekaligus mewarnai suatu peradaban.

 

Al-Quran yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan

antara lain:

 

1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari

segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan

tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian

alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu

konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan

umat manusia.

 

2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,

yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang

seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada

Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.

 

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja

antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta,

kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan

supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan

kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan

kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik

dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu

keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.

 

4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama

dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara

melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh

hikmah kebijaksanaan.

 

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,

kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta

pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,

ekonomi, politik, dan juga agama.

 

6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat

dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial

sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia

 

7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli

kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,

menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada

kebaikan dan mencegah kemunkaran.

 

8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna

menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati

diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.

 

Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan

yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan

pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik,

yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan.

Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan

membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat

dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem

hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan

pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas

keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan

ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat

 

Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang

akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima

dan memberi kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat

mengarahkan kita untuk memberi sebagian dari apa yang

kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat

manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan

kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang telah tumbuh

subur dalam negara kita.


Wawasan Al Qur'an
Dr. Quraish Shihab 
 
Sumber: http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/index.html

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...