Mau pilih mana, NU atau Muhammadiyah?

Sebagai umat Islam, sering kita berhadapan dengan pertanyaan pertanyaan dilematis saat harus menentukan sikap. Manakah yang sesungguhnya benar, Sunni atau Syiah?, Qodariyah atau Jabariyah? Berjuang lewat politik atau via budaya? NU atau Muhammadiyah? Ortodoks atau Liberal? Ustad Abu Bakar Ba’asyir atau Gus Dur?, dan banyak lagi contoh semacam itu.

Banyak yang menganggap, bahwa perbedaan perbedaan tersebut tidak ada masalah. Namun dalam sejarahnya, perbedaan itu justru menimbulkan banyak pertentangan. Pilihan yang kita ambil sangat menentukan sikap keberagamaan kita. Sering sikap ini menarik garis tegas antara siapa kawan dengan siapa yang bukan kawan, siapa kelompok mana dan bagaimana.

Para fuqoha (ahli hukum) selalu membahas masalah ini saat berhadapan dengan hasil ijtihad (gagasan) yang beraneka macam dan saling bertentangan. Yang satu menyatakan mengenakan jilbab adalah wajib, sedangkan yang lain menyatakan tidak wajib. Apakah pendapat ini semua benar atau hanya satu saja yang benar?
Ada kelompok yang naif dengan sederhana menyatakan : kembalikan kepada Al Qur’an dan Hadist sebagai pemutus! Resep ini mudah diucapkan tapi hampir mustahil dilaksanakan. Bukankah Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah sama sama merujuk  Al Qur’an dan Hadist?. Bukankah ustad Abu Bakar Ba’asyir dan Gus Dur juga sama sama mengambil sumber dari Al Qur’an serta mencontoh perjuangan Nabi saw dalam merumuskan dasar dasar perjuangannya?

Ada doktrin moral atau hukum dalam Islam yang sangat kokoh yang hampir tidak ada retaknya serta telah disepakati semua umat muslim, seperti Rukun Islam, Rukun Iman, Asmaul Husna dan banyak lagi. Semua ulama sepakat bahwa kebenaran cuma satu yaitu hanya milik Tuhan.

Namun ada juga wilayah grey area yang bermasalah dan menjadi polemik berkepanjangan. Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya, hampir semua kitab ushul al fiqh (prinsip prinsip yurisprudensi Islam) telah memberikan dua buah jalan keluar. Entah kenapa para ulama sekarang jarang membicarakan masalah ini. Apakah memang sudah lupa atau untuk mempertahankan kepentingan kelompok masing masing ,tidak jelas benar.

Pertama adalah al takhthi’ah. Pendapat ini menyatakan bahwa hanya satu yang benar, semuanya salah. Semua hukum sudah ditetapkan Allah sebelum manusia berijtihad. Yang berhasil menemukannya mendapat dua pahala, yang gagal menemukannya mendapat satu pahala. Gagasan ini melahirkan tradisi taklid (mengikuti doktrin madzab atau pendapat ulama) dalam dunia Islam. Ulama melanjutkan tradisi dari imam madzab panutannya, sedangkan orang awam mengikuti tradisi ulama mereka.

Kedua adalah at-tashwibah. Pendapat ini adalah menyatakan, bahwa semuanya benar. Untuk sebuah masalah yang tidak jelas hukumnya dan belum ada keputusan hukum tertentu yang bisa dijadikan acuan, maka kwajiban para mujtahid atau fuqoha (ahli hukum) untuk menetapkannya berdasarkan perkiraan perkiraan mereka. Karena semuanya berdasarkan perkiraan, maka semua ijtihad dianggap benar. Kalau toh bahwa hukum yang benar itu hanya Allah yang tahu, manusia tidak dibebani untuk menemukannya. Manusia tidak bersalah karena mereka memiliki keterbatasan.

Apakah dengan demikian kebenaran itu menjadi relatif? Tidak juga! Kebenaran tetap satu, dan itu menjadi milik Tuhan semata. Tetapi dia hadir kehadapan kita melalui berbagai wajah. Kehadiran NU dan Muhammadiyah, atau Sunni dan Syiah adalah pertemuan dua wajah kebenaran. Dua buah elemen yang saling melengkapi. Seperti kata Nietsche :  aku hanya percaya kepada Tuhan yang bisa menari, sebuah kebenaran yang dinamis.

Sri Wulandari


Sumber: www.kompasiana.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...